LEGIWON

Dialog dengan Otak Sendiri “Teori Segudang, Aksi Nggak Nyampe Sejengkal”

Pagi itu, aku duduk di sudut ruangan yang konon adalah ruangan kerjaku sambil ngeliatin segelas besar kopi panas yang udah berubah jadi air es. Otak aku sibuk ngajak debat, kayak ada talkshow gratis di kepala.

“Besok aku meditasi,”

gumamku. Tapi suara nyinyir langsung nimbrung,

“Besok? Yang bener aja, Bro. Kamu itu kayak orang punya perpustakaan ilmu lengkap, tapi pintunya kebuka terus— pengetahuannya keluar semua, nggak ada yang dipraktekin. Mau sampai kapan koleksi wacana doang?”


Aku ngangguk-ngangguk, tapi di dalam hati rasanya kayak habis dilempar sandal. Emang sih, teori ku segudang. Hafal filosofi, ngerti metode ini-itu, tahu semua teknik meditasi mulai dari kuno sampai yang diajarkan di aplikasi. Tapi apa gunanya kalau nggak pernah jalan? Pengetahuan aku itu kayak kembang api di siang bolong—kelihatan ada, tapi nggak bikin efek apa-apa.


“Tapi kan aku butuh persiapan,” aku mencoba bertahan, kayak gladiator di arena debat ini.

“Persiapan apa lagi?” suara itu makin nyolot.

“Kamu udah tahu cara berenang, tapi malah duduk di tepi kolam sambil mikir: ‘Airnya terlalu dingin nggak ya? Kalau aku loncat, gaya aku
oke nggak ya?’ Lah, loncat aja dulu! Jangan jadi teoritikus kolam renang!”


Aku cuma bisa garuk-garuk kepala. Hatiku ikut angkat bicara, dan kali ini nadanya lebih lembut.

“Dengerin deh, hidup itu bukan soal seberapa banyak yang kamu tahu. Hidup itu soal apa yang kamu lakuin. Kamu bisa tahu seribu cara sukses, tapi kalau nggak ada satu pun yang kamu coba, ya sama aja kayak tahu resep masakan tapi nggak pernah masak. Mau makan dari mana?”


Aku diem. Kena banget tuh. Aku ini kayak buku tebal penuh teori, tapi halaman aksinya bolong. Kalau pengetahuan adalah harta, maka aksinya adalah cara biar harta itu nggak cuma nganggur di brankas. Aku kaya di kepala, tapi miskin di gerakan.

“Tapi kan takut salah,” gumamku lirih, masih mencoba membela diri. “Takut salah? Ya elah, anak bayi aja nggak takut salah waktu belajar jalan. Mereka jatuh, ketawa, terus bangun lagi. Kamu ini kalah sama bayi, seriusan. Mau jadi orang dewasa yang terlalu mikir atau bayi yang berani nyoba?”

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

IB. Wikanda Permana Utama

Writer & Blogger