Hujan turun perlahan pagi itu, seperti irama lembut yang menenangkan hati. Aku duduk di beranda rumah, menatap rintik-rintik air yang jatuh dan menggenang di halaman. Di tanganku, secangkir kopi hitam hangat mengepul dan sebatang rokok merk tingwe (linting dewe) aromanya menusuk hidung, mengingatkan pada pelukan hangat yang jarang aku terima dari hidup ini. Di kejauhan, suara gemericik air dari selokan kecil melengkapi simfoni pagi. Sempurna, sampai aku membuka berita di ponsel.
Perang lagi. Konflik lagi. Semua karena tanah suci. Aku tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena absurd. “Kalau semua tempat di dunia ini dianggap suci, kenapa kita tidak mulai dari tanah tempat kita berdiri sekarang?” gumam ku sambil menyeruput kopi. Sedikit kepahitan terasa, baik dari kopi maupun kenyataan yang baru aku baca.
Tanah suci. Sebuah istilah yang belakangan ini seolah menjadi alasan universal untuk bertengkar. Ironis, bukan? Manusia bertempur habis-habisan untuk sesuatu yang katanya suci, padahal mungkin mereka bahkan lupa cara menyucikan diri mereka sendiri. Aku membayangkan
kalau saja semua energi yang dihabiskan untuk berebut tanah itu dipakai untuk menanam pohon di halaman rumah masing-masing, mungkin dunia ini sudah jadi taman Eden.
Tanah kelahiran kita sebenarnya adalah tanah suci yang paling dekat dengan hati. Coba pikirkan, di mana lagi kita bisa menemukan tempat yang menyimpan jejak kaki pertama kita? Di mana suara tawa masa kecil kita menggema? Di mana rasa sakit akibat terjatuh saat belajar bersepeda pertama kali diubur dengan pelukan hangat ibu? Semua itu tersimpan di sana, dalam tanah yang diam-diam menyerap semua cerita kita tanpa pernah mengeluh.
Namun, entah kenapa, banyak dari kita lupa akan kesakralan itu. Mungkin karena tanah kelahiran kita tidak diberi label khusus, tidak dihiasi dengan simbol-simbol megah, atau tidak jadi trending topic di media sosial. Padahal, kalau dipikir-pikir, tanah di depan rumah kita itu
adalah saksi bisu perjalanan hidup kita. Ia tidak meminta dipuja, hanya ingin dijaga.
Aku pernah mendengar seseorang berkata, “Kita ini terlalu sibuk mencari jauh-jauh, padahal yang kita cari sering kali sudah ada di depan mata.” Barangkali itulah masalah manusia modern. Kita mengidolakan sesuatu yang jauh, sesuatu yang kelihatan sulit dijangkau, lalu melupakan hal-hal sederhana yang ada di sekitar kita. Tanah kelahiran, contohnya.
Kalau tanah itu bisa bicara, mungkin dia akan bertanya, “Kenapa kau cari tanah lain? Bukankah aku yang memelukmu pertama kali?” Pertanyaan itu menusuk seperti hujan yang menembus kulit. Rasanya dingin, tapi menyadarkan. Aku membayangkan kalau semua orang di dunia ini mulai melihat tanah kelahirannya sebagai tanah suci, mungkin tidak akan ada perang lagi. Tidak ada yang perlu direbut karena setiap orang sudah sibuk menjaga tanahnya sendiri.
Hujan pagi itu terus turun, menyapu debu-debu yang menempel di jalanan. Kopiku hampir habis yang di dahului oleh rokokku, dan pikiran ini masih berputar-putar. Mungkin, dunia memang butuh lebih banyak hujan, bukan senjata. Lebih banyak tangan yang mencangkul tanah, bukan tangan yang melempar bom. Tanah suci bukanlah tempat yang harus diperjuangkan dengan darah dan air mata. Ia adalah tempat yang kita rawat dengan cinta dan doa, tempat di mana kita bisa berdiri dengan damai, sambil menatap langit tanpa rasa takut.
Aku menatap halaman rumah yang mulai hijau karena siraman air hujan. “Ya, ini tanah suciku,” gumamku. Bukan karena ada sesuatu yang ajaib di sini, tapi karena di sinilah Aku belajar menjadi manusia. Tanah kelahiran itu sakral, karena ia menyimpan semua yang kita butuhkan untuk mengenang, belajar, dan melangkah ke depan.
Hujan mulai reda, meninggalkan bau tanah yang khas. Aku berdiri, membawa cangkir kopi yang kini kosong, lalu tersenyum kecil. “Semua orang mencari surga, tapi lupa kalau surga itu bisa dimulai dari halaman rumah sendiri.”