LEGIWON

Stres, Cemas, dan Marah Kisah Tragis Tubuh yang Tertindas

Halo, kamu yang lagi baca tulisan ini sambil duduk santai, rebahan, atau mungkin pura-pura sibuk di depan layar komputer biar bos nggak curiga. Aku nggak tahu kamu siapa, tapi satu hal yang pasti: tubuhmu, seperti tubuhku, adalah korban. Ya, korban dari stres, cemas, dan marah. Mereka bertiga ini seperti trio antagonis di sinetron panjang kehidupan kita. Dan, percaya atau tidak, tubuh kita adalah pemeran utamanya yang nggak pernah minta ikut audisi.

Bayangin, tubuh kita ini tadinya damai, ibarat desa kecil yang tenteram. Organ-organ bekerja sama dengan harmonis: otak jadi kepala desa, jantung jadi pemimpin proyek vital, paru-paru yang santai seperti tukang ojek ngopi di pangkalan, dan sistem pencernaan yang sibuk tapi tetap bahagia seperti penjual bakso di pasar malam. Lalu, datanglah stres, si penebar drama.

Ketika stres mulai masuk, tubuh langsung panik. Otak, yang tadinya sibuk memikirkan hal produktif seperti “Apa ya makan malam nanti?” tiba-tiba berubah jadi alarm darurat. “Aktifkan mode siaga! Tingkatkan hormon kortisol dan adrenalin!” Akibatnya? Jantungmu mulai berpacu
lebih cepat, seolah-olah kamu lagi ikut lomba lari tanpa garis finish. Otot-ototmu tegang seperti kabel listrik yang lupa digulung, dan napasmu mulai pendek-pendek, kayak habis dikejar utang.

Tapi ini baru episode pertama, Sob. Masih ada cemas, si sahabat setia stres yang suka banget ngasih spoiler buruk tentang masa depan. Cemas itu seperti asisten sutradara yang tugasnya memastikan semua orang panik. Otakmu, yang tadinya tenang, mulai kerja terlalu keras. Kamu mulai memikirkan hal-hal absurd seperti, “Gimana kalau besok aku lupa bawa masker?” atau “Apa aku salah ngomong tadi? Dia bakal benci aku nggak ya?” Dan pertanyaan konyol itu terus berputar sampai tubuhmu nggak tahu lagi mana masalah nyata dan mana imajinasi.

Efeknya? Napasmu jadi kayak kipas angin rusak: pendek dan cepat, sementara jari-jari tanganmu gemetar seolah-olah mereka protes, “Bro, tenang dong. Kita cuma ngetik email, bukan menulis deklarasi perang!”

Dan tentu saja, nggak ada drama tanpa si marah. Kalau stres itu pemicu, dan cemas itu pengacau, marah adalah bom waktu. Dia datang dengan segala efek spesialnya: muka merah seperti habis makan cabai rawit, suara naik dua oktaf, dan tangan gemetar kayak mau lempar barang. Tubuhmu, yang sudah kelelahan, langsung masuk mode fight or flight. Tapi masalahnya, kamu nggak bisa lari dari kenyataan bahwa… kamu cuma kesal karena ada yang motong antrean di parkiran.

Tubuh kita, yang sebenarnya dirancang untuk bertahan dari ancaman serius seperti singa lapar, sekarang dipaksa menghadapinya karena password WiFi salah. Sistem kardiovaskularmu, yang harusnya sibuk mendukung hidup, malah sibuk mengatasi tekanan darah yang naik turun kayak harga cabai di pasar. Sistem pencernaanmu, yang tadinya tenang-tenang aja, sekarang protes karena produksi asam lambungnya melebihi kuota. Dan jangan lupa, imunmu juga jadi korban, membuat tubuh gampang sakit gara-gara trio drama ini nggak mau pergi.

Puncaknya? Gangguan tidur. Malam yang harusnya jadi waktu istirahat malah berubah jadi sesi merenung tanpa akhir. Kamu berbaring di tempat tidur, siap-siap memejamkan mata, tapi stres berbisik, “Eh, kamu tadi salah ngomong ke bos, kan?” Lalu cemas menyela, “Gimana kalau besok ban motor bocor?” Akhirnya, marah ikut nimbrung, “Kenapa aku nggak jawab balik pas dia nyolot tadi?!” Malam itu, tubuhmu, yang sudah lelah, hanya bisa pasrah menghadapi parade pikiran tak berguna.

Tubuh kita, kalau boleh ngomong, mungkin sudah lama protes. Tapi sayangnya, dia nggak punya mulut untuk bilang, “Cukup sudah!!!” Jadi, apa solusinya? Aku bukan dukun atau motivator, tapi aku tahu satu hal: tubuhmu butuh istirahat, bukan tambahan drama. Mulailah dari yang sederhana. Tarik napas panjang, buang perlahan, dan kalau trio stres, cemas, dan marah datang lagi, katakan pada mereka, “Hei, ini tubuhku, bukan ruang rapat kalian!!!”

Hidup memang nggak selalu mudah, tapi tubuh kita nggak seharusnya jadi korban utama. Jadi, ayo belajar untuk santai sedikit. Kalau ada masalah, hadapi dengan kepala dingin (dan segelas teh hangat kalau perlu). Karena pada akhirnya, hidup ini bukan tentang menghindari badai, tapi tentang belajar menari di tengah hujan… tanpa bikin tubuh kita tambah lelah.

Sekarang, kalau tulisan ini membuatmu sedikit tertawa atau berpikir, itu artinya aku berhasil. Tapi kalau bikin kamu tambah stres… ya, maaf. Aku juga masih belajar berdamai dengan trio ini. Tetap semangat, ya!!!

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

IB. Wikanda Permana Utama

Writer & Blogger