Di era modern ini, spiritualitas sering kali disalahartikan. Banyak orang menganggapnya sebagai sebuah kompetisi: siapa yang lebih cepat mencapai “pencerahan,” siapa yang lebih sering melakukan meditasi, siapa yang lebih hafal ajaran-ajaran suci, atau siapa yang paling banyak mengetahui istilahistilah spiritual. Semakin sering kita mendengar orang berlomba-lomba memamerkan pengalaman spiritual mereka, semakin kita merasa bahwa spiritualitas telah berubah menjadi sesuatu yang harus diraih dan dibuktikan kepada orang lain. Namun, apakah benar demikian? Apakah spiritualitas benar-benar tentang pencapaian, prestasi, dan persaingan? Jika kita terlalu terfokus pada “siapa yang lebih dulu sampai” atau “siapa yang lebih banyak tahu,” kita bisa kehilangan makna terdalam dari spiritualitas itu sendiri. Spiritualitas bukanlah ajang balapan atau perlombaan untuk mengalahkan orang lain dalam hal pencerahan. Justru, ia adalah
sebuah perjalanan batin yang pribadi, di mana satu-satunya kompetisi yang ada adalah dengan diri kita sendiri—bukan dengan orang lain. Bayangkan spiritualitas seperti perjalanan mendaki gunung. Setiap orang memiliki jalur yang berbeda-beda, kecepatan yang berbeda, dan tantangan yang berbeda pula. Tidak ada jalur yang paling benar, tidak ada waktu tercepat yang harus dicapai. Apa yang penting bukanlah seberapa cepat kita sampai di puncak, tetapi apa yang kita pelajari sepanjang jalan.
Banyak yang lupa bahwa inti dari spiritualitas adalah kesadaran diri dan penyembuhan diri. Ini adalah proses untuk memahami siapa diri kita sebenarnya, mengenali kelemahan kita, merangkul ketidaksempurnaan, dan tumbuh menjadi individu yang lebih baik. Jika kita menjadikan spiritualitas sebagai ajang balapan, kita justru akan terjebak dalam ego kita sendiri, dan itu berlawanan dengan tujuan spiritualitas yang sesungguhnya. Di era di mana media sosial sering kali menjadi panggung bagi “pencapaian spiritual,” kita perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam perangkap persaingan.
Berbagi pengalaman spiritual bukanlah sesuatu yang salah, tetapi jika kita melakukannya untuk mendapatkan pengakuan atau pujian, maka spiritualitas kita sudah kehilangan ketulusannya. Alih-alih menjadi perjalanan yang tulus, ia berubah menjadi pencapaian ego yang dipamerkan untuk dinilai orang lain.